Minggu, 27 Juli 2008

DSLR vs TDW vs Padi

Tidak pernah sebelumnya aku mempunyai keinginan yang begitu kuat untuk segera memiliki sesuatu seperti yang kualami saat itu. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir..... setelah aku menikah, .....setelah aku punya anak, ....setelah aku punya rumah, ....setelah (banyak???).

Mungkin memang karena hobi, plus keseringan browsing2, jadilah aku punya keinginan yang menggebu untuk punya kamera DSLR. Tidak ada yang menarik sebenarnya mengenai hal ini, tetapi jadi istimewa buatku karena kondisi finansial yang tampaknya memang harus dipaksakan untuk membelinya. Ya, memang setelah kami punya rumah, kami jadi harus mengelola cash flow keuangan dengan cermat dengan mengutamakan hal-hal yang bersifat primer dan sekunder, kecuali kalau menyangkut kepentingan anak..... Nah, dalam konteks ini, membeli kamera DSLR sungguh mengingkari konsep di atas. Masalahnya, keinginan sudah begitu kuat dan jauh-jauh hari aku sudah terlanjur komit pada diri sendiri bahwa barang itu akan menjadi kado ulang tahunku, serta rangkaian rencanaku untuk mengembangkan skill fotografi termasuk create money dari hobi.

Celakanya (atau untungnya?) hanya beberapa hari sebelum aku ulang tahun, aku menghadiri seminar 3 harinya Tung Desem Waringin yang secara dahsyat membuka wawasanku mengenai financial revolution. Dalam konteks di atas, TDW mengajarkan bahwa yang paling betul adalah bila kita membeli barang dengan alokasi passive income kita, kemudian yang 'agak' betul adalah bila kita membelinya dengan alokasi active income kita, dan yang 'nggak' betul adalah kalau kita hanya mengandalkan dari hutang, misalnya dengan kartu kredit.

Pertentangan dalam hati memang secara hebat terjadi, namun apa boleh buat, mentalku rupanya sudah tersosialisasikan dengan hebat bahwa aku akan punya kamera DSLR daripada menuruti konsep TDW. Alhasil, jadilah aku beli hadiah ulang tahunku itu......

Pertentangan dalam hati ternyata tidak berhenti sampai di sana, walaupun istri terlihat sangat mendukung langkahku ini. Ah, istriku memang paling tidak mau menyakiti hatiku, dan dia memang orang yang paling mendukung apa yang terbaik bagiku, walaupun itu tidak baik bagi dirinya. Sedangkan anakku, 7 tahun, ternyata lebih kritis dari yang aku sadari. Kritiknya padaku karena tidak menabung (dan malah menghutang) sungguh mempemalukanku dan membuatku kehilangan kata2 untuk membela diri.

4 bulan lebih dari cukup dan sudah bulat tekadku untuk menjual kamera itu agar aku menjadi lebih fair kepada istri dan anakku untuk lebih merapatkan barisan keuangan keluarga setidaknya dalam 1 tahun ini. Saat ini aku sedang reses dari urusan fotografi, tapi setelah kondisi kami membaik, pasti aku akan kembali! Seperti lirik lagu Padi: ......... bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari, kuhelakan nafas panjang 'tuk siap berlari kembali..........